Sabtu, 29 Mei 2010

Hukum Nikah Sirri

 
Bagaimana sebenarnya pandangan Islam tentang Nikah Siri ? Siri secara etimologi berarti sesuatu yang tersembunyi, rahasia, pelan-pelan (Ibnu al Mandlur, Lisan al Arab : 4/356). Kadang Siri juga diartikan zina atau melakukan hubungan seksual.

Pengertian Pertama.
 
Nikah Siri adalah pernikahan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi tanpa wali dan saksi. Inilah pengertian yang pernah diungkap oleh Imam Syafi'i di dalam kitab Al Umm 5/23, Dari Malik dari Abi Zubair dilapori tentang pernikahan yang tidak disaksikan kecuali seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka Rasulullah bersabda, "Ini adalah nikah Sirri, dan saya tidak membolehkannya, kalau saya mengetahuinya, niscaya akan saya rajam (pelakunya)."

Pengertian Kedua.

Nikah Siri adalah pernikahan yang dihadiri oleh wali dan dua orang saksi, tetapi saksi-saksi tersebut tidak boleh mengumumkannya kepada khalayak ramai. Pendapat tentang hukum pernikahan seperti ini terdapat dua perbedaan, diantaranya yang berpendapat Hukum tersebut "Sah" adalah Umar bin Khattab, Urwah, Sya'bi, Nafi', Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'i, Imam Ahmad (Ibnu Qudamah, al Mughni, Beirut, Daar al Kitab at Arabi : 7/434-435). Dan yang berpendapat bahwa Hukum tersebut "Tidak Sah" adalah Malikiyah dan sebagian dari ulama madzab Hanabilah (Ibnu Qudamah, al Mughni : 7/435, Syekh al Utsaimin, asy-Syarh al Mumti' 'ala Zaad al Mustamti', Dar Ibnu al Jauzi, 1428, cet.)

Pengetian Ketiga.

Nikah Siri adalah pernikahan yang dilakukan dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil serta adanya ijab qabul, hanya saja pernikahan ini tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara (KUA). Hukum seperti ini menurut syariat adalah "Sah" dan tidak bertentangan dengan ajaran agama islam karena syarat-syarat dan rukun pernikahan sudah terpenuhi. Tetapi menurut hukum positif di Indonesia dengan merujuk pada RUU Pernikahan tersebut, maka Nikah Siri semacam ini dikenakan sangsi hukum. Karena pada dasarnya Negara berhak untuk membuat peraturan agar setiap orang yang menikah, segera melaporkan kepada lembaga pencatatan pernikahan (KUA). Hal itu dimaksudkan agar setiap pernikahan yang dilangsungkan antara kedua mempelai mempunyai kekuatan hukum, sehingga diharapkan bisa meminimalisir adanya kejahatan, penipuan atau kekerasaan di dalam rumah tangga, yang biasanya wanita dan anak-anak menjadi korban utamanya.

Firman Allah swt :
"Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf." (QS. Al Baqarah : 235)

Sumber : Dr. Ahmad Zein An-Najah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar